“Berjuanglah, berusahalah, membanting tulang, memeras keringat, mengulur-ngulurkan tenaga, aktip, dinamis, meraung, menggeledek, mengguntur, dan selalu sungguh-sungguh, tanpa kemunafikan, ichlas berkorban untuk cita-cita yang tinggi!” (Bung Karno)
Kecuali kita tak peduli dengan Indonesia, rasanya tiada guna merampung baca. Karena sederhana, apa yang sedang kita bahas kali ini adalah sesuatu yang sederhana. Ini bukan tentang komunisme, bukan tentang sosialisme, bukan pula representasi Sukarnois. Bukan pula wacana ekstrim kekiri-kiri-an atau sebaliknya kekanan-kanan-an. Tapi sederhana, bahwa apa yang dibahas adalah sedikit wacana demi peduli bangsa.
Lalu ada apa dengan Indonesia?
Amboi, tak kunjung padam bangsa kita dirundung duka. Semua ada disini, dari manusia yang korupsi, hingga pulau yang ‘migrasi’. Dari hukum yang ‘buta’, hingga ekonomi yang ‘lumpuh pincang’. Cukup menengok sejenak sebuah kotak pandora elektronik yang dimiliki oleh hampir 60 juta rakyat Indonesia, sentak kita disuguhkan pemandangan betapa bangsa ini senantiasa bergelut dengan masalah ; Tentang ulah tak baik manusia hingga akting ciamik para fauna, ada cicak, buaya, serigala berbulu domba hingga gurita. Entah contoh hewan yang terasimilasi manusia atau manusia yang kehewan-hewanan. Benar-benar absurd dan membingungkan.
Tentu tak efisien me(m)breakdown masalah-masalah yg ada di negeri ini, melalui media ini-saat ini. Terlebih saat kotak pandora berukuran inchi terus saja, tak henti-hentinya menampilkan kisah – kisah menyayat hati. Selesai satu, tumbuh seribu. Dan harus kita akui dalam beberapa titik demikianlah wajah kita.
Di sisi yang berbeda, benar, bahwa dalam hidup manusia tidak dianjurkan untuk jauh berangan-angan. Serta terus membanding-bandingkan kondisi hari ini dengan masa lalu. Walau memang indah rasanya membayangkan sesosok Soekarno misalnya kembali hadir di tengah kita. Entah bagaimana caranya. Yang pasti tentu kita mahfum membayangkan Beliau pasti gemas melihat kondisi bangsa kita, kemudian beliau bergegas menaiki podium,mengumpulkan rakyat Indonesia, dan memulai pidatonya. Pas. Tentang ekonomi kita yang begitu terpuruk, ujar beliau kepada kita :
“Kalau bangsa bangsa yang hidup di padang pasir yang kering dan tandus bisa memecahkan persoalan ekonominya kenapa kita tidak? Kenapa tidak? Coba pikirkan ! Kekayaan alam kita yang sudah digali dan yang belum digali, adalah melimpah-limpah; Tenaga kerjapun melimpah-limpah, di mana kita berjiwa 100 juta manusia; Tradisi Bangsa lndonesia bukan tradisi, “tempe”. Kita di zaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok!”
[Pidato HUT Proklamasi, 1963]
Dan kita terperangah. Saat itu kita melihat sesosok pria tegap yang lahir 108 tahun yang lalu begitu berapi-api. Begitu optimis dan berani menganalogikan masa kedigdayaan purba Indonesia demi memercikan solusi ekonomi bangsa.
Tak lama berselang, Bung Karno meneriakan tema lain terkait remehnya kita dalam konstelasi ekonomi dunia, dan sadar-tidak sadar terus ter(di)jebak dalam konspirasi berkedok pinjaman atau bantuan ekonomi. Maka beliau dengan geram menasehati…
“Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak.”
Belum selesai. sentak pidato beliau meliuk cepat mengomentari kemerdekaan, nasionalisme, dan persatuan, yang hari ini begitu rapuh, ujar Beliau dengan lantang…
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan turunnya sitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk, belumlah pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan sebanyak-banyaknya keringat.”
[Pidato HUT Proklamasi, 1950]
Tidak sampai disitu, melihat sebagian wajah (oknum) bangsa yang tampak minder dan mencla-mencle, beliau semakin nanar berkobar-kobar…
“Sepuluh tahun telah kita Merdeka, tetapi masih ada saja orang-orang yang dihinggapi MINDERwaardigheids complexen terhadap orang asing, masih ada saja orang-orang yang lebih mengetahui dan mencintai kultur Eropa dari pada kultur Beograd… Engkau bisa, hei Rakyat, sebab engkaulah yang menjadi hakim-bukan aku, bukan Bung Hatta, bukan Angkatan Perang, bukan Kabinet!”
[Pidato 1955]
“Atau hendakkah kamu menjadi bangsa yang ngglenggem? Bangsa yang angler memeteli burung perkutut dan minum teh nastelgi ? Bangsa yang demikian itu pasti hancur lebur terhimpit dalam desak mendesaknya bangsa-bangsa lain yang berebut rebutan hidup!”
[Pidato 1960]
Ya, andai bung Karno ada, tentu beliau marah melihat kondisi kita. Tapi berbicara tentang Bung Karno berarti berbicara tentang masa lalu.. Dan Masa lalu ujar filsuf Islam Al Ghazali adalah Sesuatu yang paling jauh. Manusia tidak mungkin kembali ke masa lalu.. Tapi dari masa lalu tentu kita bisa menarik hikmah. Hikmah besar dari seorang Bapak Bangsa yang jauh melampaui zamannya.
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah” ujar Bung Karno. Dalam kesempatan lain beliau melanjutkan “Asal kita setia kepada hukum sejarah dan asal kita bersatu dan memiliki tekad baja, kita bisa memindahkan gunung Semeru atau gunung Kinibalu sekalipun.”
[Pidato HUT Proklamasi, 1965]
Bangsa ini dengan segala kekisruhannya, tetaplah sebuah bangsa besar yang kita lahir, dan berdiri di dalamnya. Soekarno mungkin sudah tidak ada, tapi semangat perjuangannya akan senantiasa kita estafetkan. Sebagaimana ujarnya suatu ketika,
“‘Innallaha la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim’ Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa, sebelum bangsa itu merobah nasibnya… Berjuanglah, berusahalah, membanting tulang, memeras keringat, mengulur-ngulurkan tenaga, aktip, dinamis, meraung, menggeledek, mengguntur, dan selalu sungguh-sungguh, tanpa kemunafikan, ichlas berkorban untuk cita-cita yang tinggi!”
Dan akhirnya sebagai penutup. Dalam kitab Ramayana disebutkan ada sebuah negeri bernama Uttara Kuru, di negeri ini tidak ada panas yang terlalu, tidak ada dingin yang terlalu. Tidak ada susah yang terlalu, tidak ada masalah yang terlalu. Semuanya sedang-sedang saja. Negeri tanpa problematika. Rakyatnya adem ayem. Kehidupannya ayem adem. Tidak ada rintangan. Tidak ada perjuangan. Kehidupan disana rasanya indah, tidak terlalu senang dan tidak terlalu susah. Semuanya serba sedang-sedang saja.
Indah. Tapi apakah kita mau menjadi negeri seperti itu?? TIDAK, bangsa seperti ini tidak akan menjadi bangsa yang besar karena tidak adanya perjuangan. Kita, Bangsa Indonesia, lebih memilih menjadi bangsa besar karena berbagai tempaan. Kita lebih memilih menjadi bangsa besar yang terus digembleng setiap hari, hampir hancur lebur, bangkit kembali. Di gembleng lagi, hampir hancur lebur, bangkit kembali! Ya, bangsa seperti inilah yang akan menjadi bangsa besar karena telah lama berkawan dengan kerasnya kehidupan dan permasalahan.
Dan tentu harapan itu selalu ada.
Oleh : Dea Tantyo
0 comments:
Posting Komentar