“Karena bumi ini, sebagaimana pepatah bijak mengatakan, bukanlah warisan dari nenek moyang kita, melainkan titipan anak cucu kita.”
Ketimpangan antara usaha mengejar pertumbuhan ekonomi dengan proses menguras secara besar-besaran sumber daya alam tanpa memperhatikan akibat buruk yang ditimbulkan, telah menjadi kelemahan terbesar negara-negara berkembang dalam mengelola sumber daya alam.Dalam pembangunan, sebagaimana teori yang dikembangkan Myrdall (Glasson, 1990) selalu timbul apa yang disebut dengan “backwash effect”, yaitu dampak negatif akibat adanya pembangunan. Menurut Myrdall terdapat dua kekuatan yang bekerja pada pembangunan, yaitu spread effect (dampak positif pembangunan) dan backwash effect (dampak negatif). Namun dalam beberapa kasus, Backwash effect seringkali mengungguli spread effect.
Kondisi inilah yang sedang terjadi di Indonesia. Usaha pembangunan–pertumbuhan ekonomi–telah menanggalkan sisi ekologi/konservasi dan aspek sosial. Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, kita bayar mahal dengan menyisakan keadaan lingkungan yang berantakan. Kondisi ini diperparah dengan emisi pembangunan melalui industri yang membawa dampak negatif hingga tataran global. Bukan berita baru, bahwa negara-negara Asia terutama Indonesia menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar di dunia.
Sehingga, demi merespon hal ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, perlunya kesadaran semua pihak akan pentingnya internalisasi lingkungan dalam ekonomi. Pemerintah sebagai tokoh sentral harus menekankan orientasi pembangunan yang mengedepankan sisi kelestarian lingkungan. Selain itu, formula pembangunan harus membatasi jumlah pengambilan SDA, menetapkan kapasitas lingkungan dalam menyerap emisi, serta melestarikan fungsi lingkungan sebagai sumber bahan mentah dan penampung limbah. Kasus semisal eksploitasi hutan Kalimantan bisa menjadi pelajaran bagi ketegasan pemerintah dalam menegakan regulasi.
Kedua, perlu ditumbuhkan riset yang kompatibel dengan proyek inovasi berwawasan lingkungan, serta kemudahan pembiayaan riset oleh pemerintah. Merujuk penelitian Dewan Riset Nasional, terdapat lebih dari 5.000 riset di Indonesia, namun tak lebih dari 40 persen yang diimplementasikan di lapangan. Padahal inovasi sangat diperlukan untuk menjembatani pembangunan ekonomi dengan kelestarian alam.
Ketiga, untuk merespon tingginya emisi di Indonesia, perlu adanya investasi energi jangka panjang dalam bentuk pemberdayaan energi terbarukan. Berdasarkan laporan yang diterbitkan Greenpeace dan The Europe Renewble Energy Council (EREC), adanya konversi bahan bakar konvensional (fosil) menjadi energi terbarukan semisal tenaga matahari, angin, air, panas bumi dan bio energy, akan memberi efisiensi waktu 10 kali lipat dari biaya penggunaan energi konvensional. Hal itu akan menghemat biaya hingga US$180 milyar setiap tahun, serta mengurangi emisi CO2 hingga 50% pada beberapa tahun ke depan.
Semua hal diatas harus digerakkan dengan kesadaran penuh oleh berbagai pihak. Hal ini semata untuk menyudahi dilema antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan sumber daya alam. Ekonomi dan lingkungan bukanlah sesuatu yang saling bertolak belakang, melainkan sesuatu yang dapat berjalan beriringan jika dilakukan dengan cara yang tepat. Keterikatan ini senada dengan yang dikemukakan John Elkington (1997) tentang konsep Triple Bottom Line (TBL) atau tiga faktor utama operasi entitas ekonomi, yaitu antara faktor manusia dan masyarakat (people), faktor ekonomi dan keuntungan (profit), serta faktor lingkungan (planet). Masyarakat tergantung pada ekonomi; ekonomi tergantung pada masyarakat dan lingkungan, bahkan ekosistem global.
Dengan memperhatikan sinergisitas tiga faktor diatas diharapkan kelestarian sumber daya alam Indonesia hari ini mampu menopang kehidupan generasi yang akan datang. Karena bumi ini, sebagaimana pepatah bijak mengatakan, bukanlah warisan dari nenek moyang kita, melainkan titipan anak cucu kita.
Oleh : Dea Tantyo
0 comments:
Posting Komentar